15.12.12

Petani Sengon Versus Karat Tumor

ADA sejumlah masalah serius yang dihadapi petani sengon di Banjarnegara dewasa ini. Suara Merdeka mencatat masalah tersebut juga dihadapi petani di 15 kecamatan di Batang (SM, 2/6), dan kabupaten lain di sekitar.


Kayu sengon yang mereka tanam diserang berbagai jenis penyakit. Tak hanya menyebabkan kerugian, serangan penyakit juga mengancam kebangkrutan industri pengolahan kayu.

Pada akhir 2001 hingga 2008 kayu sengon menjadi salah satu komoditas yang sangat menggiurkan para petani. Selain pemeliharaan yang mudah, syarat tumbuh mudah, dan usia tanam yang tak terlalu lama, sengon juga menjanjikan keuntungan berlipat ganda. Sebatang kayu sengon yang bibitnya bisa dibeli dengan harga Rp 1 ribu setelah lima tahun harga jualnya bisa mencapai Rp 1 juta.

Kebergairahan perdagangan kayu sengon saat itu juga menguntungkan pengusaha kayu, tak hanya petani. Saat harganya melonjak beberapa pengepul kayu bisa membuka usaha dengan mengumpulkan kayu gelondongan dari petani dan mengirimnya ke pabrik. Perdagangan ini cukup menjanjikkan karena perputaran uang dari perdagangan sengon terhitung besar dan cepat.

Selain melahirkan pengepul, tingginya harga sengon juga memicu munculnya pabrik pengolahan kayu kecil. Di kecamatan Punggelan, salah satu daerah penghasil kayu sengon di Banjarnegara, pabrik semacam ini dapat ditemukan di setiap desa. Mereka bertugas mengolah kayu gelondongan (log) menjadi barang setengah jadi, seperti papan, usuk, dan balok. Satu pabrik biasanya memiliki beberapa mesin potong dan mampu mempekerjakan lima hingga 10 karyawan.

Ingar-bingar perdagangan sengon, sayang, tak bertahan lama. Sejak pertengahan 2008 melesu karena tanaman ini diserang berbagai penyakit. Banyak tanaman sengon yang meranggas lantas mati. Sejumah petani terpaksa menebang tanaman mereka meski belum layak jual.

Ada dua penyakit atau hama paling mematikan yang menyerang sengon di wilayah Banjarnegara, yakni ulat daun dan karat tumor. Kedunya mampu mematikan tanaman dalam waktu yang tak terlalu lama.

Hama

Ulat daun sebenarnya bukan hama baru karena sering menyerang tanaman lain.
Namun ulat yang menyerang sengon sangat mematikan karena menyerang secara bersama-sama. Hama ini bahkan bisa menyerang ratusan batang sengon dalam waktu yang relatif dekat dengan bantuan angin.

Awalnya hama ini hanya menyerang beberapa pohon, namun kemudian tertiup angin sehingga menempel di pohon lain. Sejumlah desa di kecamatan Punggelan, seperti Kecepit, Bondolharjo, Tribuana, Purwasana, Petuguran, Tlaga, dan Mlaya pernah terserang penyakit ini.

Penyakit kedua, karat tumor, sering disebut petani setempat dengan sebutan onggol. Penyakit ini berupa benjolan semacam tumor yang tumbuh pada batang dan ketiak daun. Awalnya benjolan ini hanya seukuran buah kopi, namun terus membesar hingga mencapai kepalan tangan orang dewasa. Penyakit ini mematikan pucuk-pucuk daun sehingga sengon meranggas dan lama kelamaan mati.

Penyakit onggol diidentifikasi disebabkan oleh ulat, karena pada benjolan (onggol) ditemukan ulat. Meski demikian sejumlah hamasida yang beredar di pasaran ternyata tidak mampu menanggulangi penyakit ini. Batang pohon yang terserang penyakit ini dipastikan mati dalam waktu dua hingga tiga bulan. Hingga saat ini penyakit tersebut belum teratasi, bahkan terus meluas.

Kemerebakan ulat dan onggol membuat petani enggan menanam sengon kembali. Meski harganya mengalami tren kenaikan, petani mulai putus asa tidak menemukan jalan keluarnya. Mereka kemudian mengganti tanamannya dengan tanaman lain, seperti palawija atau buah-buahan (salak dan pisang).

Kelesuaan perdagangan sengon berdampak luas pada aktivitas ekonomi petani di pedesaan Banjarnegara. Perlahan para pengepul juga menutup usahanya karena perdagangan mulai sepi. Belakangan, karena produksi sengon terus menurun sejumlah pabrik skala kecil juga terpaksa gulung tikar. Para pengusaha lebih memilih peluang usaha lain karena sengon tidak lagi prospektif.

Pihak yang paling merugi tentu saja petani. Meski mereka bisa mengganti tanamannya dengan palawija atau buah-buahan, produktivitas mereka berkurang drastis.

Seorang petani sengon yang memiliki 200 pohon dengan rata-rata harga jual Rp 500 ribu bisa memetik hasil hingga Rp 100 juta rupiah dalam kurun waktu lima tahun. Jika dirata-rata, petani bisa mendapatkan penghasilan kotor 20 juta per tahun, atau 1,6 juta per bulan. Adapun  penghasilan mereka dari tanaman lain tak sebesar itu.

Rotasi Tanam
Agar tanaman sengon tidak benar-benar hilang perlu beberapa langkah, baik yang ditempuh petani maupun Dinas Pertanaian setempat. Bagi petani, misalnya dengan menyeterilkan tanaman dari berbagai jenis hama dan penyakit. Mengingat pengobatan terbukti gagal dan nyaris tidak mungkin ditempuh lagi petani harus menebang tanaman sengon yang telah terinfeksi.

Sebagaimana diberitakan Suara Merdeka (2/6), meski cara ini tak mampu benar-benar menghilangkan hama dan penyakit, tapi diharapkan mampu memutus mata rantai perkembangannya.

Agar penyakit tak terus berkembang petani juga perlu merotasi penggunan lahannya dengan jenis tanaman lain. Petani bisa mengganti tenamannya dengan jenis tanaman yang tidak rentan dengan serangan ular, termasuk palawija. Setelah mata rantai ular putus baru kemudain petani bisa menanam sengonnya kembali.

Upaya di atas memang tidak mungkin dilakukan oleh petani sendiri. Dinas Pertanian melalui Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) perlu mendampingi para petani agar langkah-langkah yang mereka tempuh tidak keliru. Bahkan pada tingkat tertentu dinas perlu mengambil langkah lebih serius, termasuk dengan memberi bantuan obat-obatan dan bantuan bibit baru. (35)

Surahmat, warga Dusun Sampang, Petuguran, Banjarnegara
Tulisan ini juga dimuat Wacana Lokal Suara Merdeka, 10 Juni 2009

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.