Komisi A DPRD meminta Pemkab untuk segera menuntaskan
kasus illegal logging yang terjadi beberapa waktu lalu di wilayah
Kecamatan Punggelan.
Penuntasan kasus tersebut meliputi pengusutan keterlibatan oknum pegawai
negeri sipil (PNS) di lingkungan Pemkab. Jika terbukti, oknum tersebut
harus dikenai sanksi yang tegas sesuai dengan peraturan yang berlaku. Pengusutan
keterlibatan oknum PNS ini sebagai langkah untuk memutus mata rantai jaringan
illegal logging di Banjarnegara.
Demikian salah satu rekomendasi Komisi A DPRD Banjarnegara setelah
mengadakan rapat koordinasi dengan Wakil Bupati Hadi Supeno dan Badan Pertanahan
Nasional (BPN) Banjarnegara di ruang rapat Komisi A, Kamis (21/7).
Menurut keterangan Ketua Komisi A Budi Sukarso, rekomendasi tersebut
dikeluarkan setelah melalui pengumpulan data-data dan mendengar penjelasan
beberapa pihak dalam rapat-rapat sebelumnya. Antara lain penjelasan dari
Kades Mlaya Asrofi, Kades Tlaga Martomo, Kades Petuguran Sukartono, dan
Camat Punggelan Imam Purwadi.
Selain merekomendasikan hal itu, Komisi A meminta Pemkab untuk segera
menindaklanjuti permohonan kepemilikan tanah negara bebas (status quo)
dari tiga desa, yakni Mlaya, Tlaga, dan Petuguran di wilayah Kecamatan
Punggelan kepada Menteri Kehutanan. Bila permohonan itu gagal maka Pemkab
bisa menempuh jalur hukum seperti kesepakatan dalam pertemuan antara warga
Desa Mlaya dan Perhutani yang difasilitasi Wakil Bupati Hadi Supeno, beberapa
waktu lalu.
Kronologi
Dalam rapat koordinasi kemarin, Wakil Bupati Hadi Supeno yang
sejak awal menjadi fasilitator kasus sengketa tanah antara warga Desa Mlaya,
Kecamatan Punggelan dan Perum Perhutani KPH Banyumas Timur menceritakan
kronologi peristiwanya.
Menurut penuturan dia, sengketa tanah Mlaya-Perhutani bermula ketika
warga Desa Mlaya hendak membangun balai desa tetapi tidak memilik tanah.
Oleh beberapa warga desa, ujar dia, tanah seluas 0,78 hektare yang sekarang
ditanami pinus oleh Perhutani, dahulu adalah tanah negara. Berdasarkan
asumsi itu lantas warga menebangi pohon yang lalu dihentikan oleh Perhutani.
''Selanjutnya diadakan beberapa kali pertemuan antara warga Desa Mlaya
dan Perhutani sampai dengan pertemuan 17 Maret. Dalam pertemuan itu disepakati
tanah yang disengketakan ber-status quo dan warga dipersilahkan
untuk mengajukan permohonan kepada Menteri Kehutanan atau menempuh jalur
hukum,'' ungkap Wabup Hadi Supeno.
Namun, lanjut Wabup, ada pihak yang tidak puas dan memicu aksi penebangan
liar di Desa Tlaga dan Petuguran. Mereka, kata dia, adalah pihak yang tidak
bertanggung jawab memanfaatkan situasi untuk kepentingan pribadi. ''Berita
selanjutnya adalah illegal logging,'' ujar Wabup.
Kepala Seksi Pengukuran dan Pemetaan BPN Banjarnegara Edi Tamtomo mengemukakan,
sengketa terjadi karena Perhutani dan warga Desa Mlaya masing-masing mempunyai
dasar. Perhutani mempunyai peta tanahnya yang diperkuat dengan tugu-tugu
batas yang setiap 10 tahun sekali diperbarui. Sementara itu, warga Desa
Mlaya mempunyai peta pegangan, yakni peta Topografi Kodam (Top Dam) yang
menyebutkan tanah 0,78 hektare adalah tanah negara dan bukan milik Perhutani.
''Hanya, peta Top Dam tidak mempunyai dasar hukum kuat bagi BPN untuk
mengambil keputusan,'' ujarnya.
Untuk mendukung penyelesaian kasus sengketa tanah yang berkembang menjadi
illegal logging, Komisi A meminta BPN untuk proaktif mencari data
tentang keabsahan peta tersebut dan prosedur penerbitan serta kegunaannya.
Sumber Berita; Suara Merdeka
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar